Keputusan Joe Biden untuk mundur dari pemilihan Presiden AS 2024 bukan saja merupakan pilihan pribadi yang tepat, mengingat kelemahannya yang sudah jelas disebabkan oleh usia, tetapi juga keputusan yang tepat bagi Partai Demokrat.
Dalam lanskap politik yang semakin sarat dengan perpecahan dan bahaya, Demokrat kini harus fokus untuk segera menunjuk penerus yang tangguh guna melawan prospek yang mengkhawatirkan dari pasangan Trump-Vance. Duo calon Republik ini, jika menang, akan menimbulkan ancaman signifikan tidak hanya terhadap stabilitas politik AS tetapi juga terhadap demokrasi global dan norma-norma diplomatik.
Pertama, mari kita bahas tentang Joe Biden. Seorang pria yang, meskipun terus-menerus dikritik, telah berhasil mengarahkan negara melewati beberapa perairan paling bergolak dalam ingatan baru-baru ini. Pemerintahannya telah menghadapi pandemi, pemberontakan, dan segudang krisis lainnya dengan tangan yang mantap, meskipun terkadang goyah. Namun Biden bukanlah pria muda. Kepresidenan menua penghuninya dalam tahun-tahun anjing, dan usia serta kesehatan Biden semakin diteliti. Dengan mengundurkan diri, ia mengakui perlunya kepemimpinan baru dan kenyataan brutal dari tuntutan fisik dan mental kepresidenan. Ini adalah momen kesadaran diri yang langka di bidang yang sering ditandai dengan kegigihan untuk mempertahankan kekuasaan.
Partai Demokrat, yang sekarang terbebas dari beban membela petahana yang sudah tua, harus bertindak cepat untuk mengonsolidasikan kekuatannya di sekitar kandidat yang segar dan dinamis.
Dan mengapa ini begitu penting? Hadirlah pasangan Trump-Vance. Prospek kepresidenan Donald Trump dan JD Vance sudah cukup untuk membuat siapa pun yang hidup dan bernapas di bumi merinding. Trump, sosok yang masa kepresidenannya ditandai oleh sifat memecah belah, ketidakpastian, dan godaan otoritarianisme, dipasangkan dengan Vance, seorang pria yang telah berubah drastis dari seorang konservatif anti-Trump menjadi pendukung setia, adalah skenario yang mengerikan. Kombinasi ini mengancam untuk mengurai jalinan demokrasi Amerika yang rapuh dan, sebagai akibatnya, mengganggu tatanan global.
Bagi Demokrat, urgensi untuk mengidentifikasi dan mendukung penerus tidak dapat dilebih-lebihkan. Penerus ini harus mewujudkan visi kemajuan, inklusivitas, dan ketahanan. Tokoh-tokoh seperti Wakil Presiden Kamala Harris, Menteri Transportasi Pete Buttigieg, atau bahkan bintang-bintang baru seperti Gubernur Gavin Newsom sekarang harus menjadi pusat perhatian, menghadirkan front persatuan melawan momok Trumpisme yang membayangi. Partai tidak boleh membiarkan pemilihan pendahuluan berubah menjadi pertempuran sengit yang melemahkan calon yang akhirnya terpilih. Sebaliknya, partai harus fokus pada pembangunan narasi kohesif yang menggarisbawahi keberhasilan pemerintahan Biden sambil memetakan agenda berwawasan ke depan yang mengatasi masalah-masalah mendesak rakyat Amerika sehari-hari.
Selain itu, strategi Partai Demokrat juga harus mencakup upaya mobilisasi pemilih yang kuat. Pemilu 2020 menunjukkan kekuatan pengorganisasian akar rumput, khususnya di negara-negara medan tempur. Momentum ini harus dipertahankan dan diperkuat, memastikan bahwa upaya penekanan pemilih dilawan dengan kuat dan bahwa pemilih terlibat sepenuhnya. Taruhannya tidak bisa lebih tinggi lagi, dan berpuas diri adalah kemewahan yang tidak dapat dimiliki Demokrat.
Lebih jauh lagi, pasangan Trump-Vance menimbulkan ancaman langsung terhadap kesucian lembaga-lembaga demokrasi. Upaya Trump untuk membatalkan hasil pemilu 2020 dan pengaruhnya terhadap pemberontakan 6 Januari telah terdokumentasikan dengan baik. Vance, yang pernah mengkritik Trump, kini menyuarakan klaimnya yang tidak berdasar tentang kecurangan pemilu. Duo ini dapat mengikis kepercayaan yang sudah rapuh terhadap integritas elektoral Amerika, yang berpotensi menyebabkan kerusuhan sipil lebih lanjut dan melemahkan norma-norma demokrasi yang tidak hanya menopang AS, tetapi juga banyak negara demokrasi lain di seluruh dunia.
Pemerintahan Trump-Vance kemungkinan akan menggandakan kebijakan isolasionis dan nasionalis yang menjadi ciri khas masa jabatan pertama Trump. Ini adalah berita buruk bagi perdagangan global, aliansi internasional, dan keamanan kolektif. Dunia melihat dampak dari kebijakan “America First” Trump – keterasingan sekutu, keberanian para otokrat, dan mundurnya kerja sama internasional dalam isu-isu seperti perubahan iklim dan kesehatan masyarakat. Putaran kedua, dengan wakil presiden yang berpotensi lebih berhaluan ideologis seperti Vance, bisa jadi lebih merusak.
Implikasinya bagi Eropa, Asia, dan masyarakat internasional yang lebih luas tidak dapat dilebih-lebihkan. AS, dengan segala kekurangannya, masih menjadi poros dalam sistem internasional. Amerika yang tidak stabil di bawah Trump dan Vance dapat membuat musuh seperti Rusia dan China semakin berani, sementara sekutu-sekutunya menjadi tidak pasti dan rentan. Hal ini dapat berarti terurainya upaya diplomatik dan strategis selama puluhan tahun yang bertujuan untuk menciptakan tatanan internasional yang stabil dan berbasis aturan.
Partai Demokrat harus bertindak cepat dan tegas. Mereka harus bersatu di sekitar seorang kandidat yang dapat melawan ancaman Trump-Vance dengan visi yang aspiratif dan dapat dicapai, visi yang dapat menyatukan bangsa yang terpecah dan memulihkan kepercayaan pada proses demokrasinya. Kandidat ini harus lebih dari sekadar reaksi terhadap Trump; mereka harus menawarkan agenda berwawasan ke depan yang membahas masalah semua orang Amerika, dari pusat kota hingga daerah pedesaan.